Senin, 27 Februari 2012

► LEBIH BESAR(Lucu)

Seorang Kakek adalah pengunjung setia sebuah kebaktian gereja. 
Ia selalu datang dengan didampingi oleh cucunya yang berusia 
sekitar 5 tahun. 
Tapi ada satu kebiasan buruk sang Kakek.
Kalau Pendeta mulai berkotbah, Kakek akan tertidur lelap. 
Sampai ngorok. Dan suara ngoroknya sangat keras dan mengganggu kekhusyukan suasana kebaktian. Juga menganggu konsentrasi Pendeta. 
Majelis Jemaat mengadakan rapat untuk mencari langkah menanggulanginya. 

Akhirnya diputuskan bahwa si cucu akan dipanggil. 
Ia akan diberi imbalan uang uang seribu rupiah apabila ia bersedia mencubit Kakeknya kalau ia mengorok. 
Si cucu setuju. 
Jalan keluar tersebut ternyata sangat manjur. 
Minggu-minggu berikutnya, tidak terdengar lagi. 
Sebulan kemudian, kejadian yang sama terulang kembali. 
Pendeta dan para anggota Majelis Jemaat bingung. 
Mereka memanggil si cucu dan menanyakannya. 
Si cucu menjawab dengan lugu, 
“Opa memberikan saya dua ribu rupiah untuk tidak mencubitnya!”

► Perjalanan Rindu(cerita bermakna)

 kalo mw baca ..,

saya sarankan yg lagi mod baca cerita aja
tkut bosan liat tulisan panjang kyk bgini

Ntar malah jd Bethe ..

hehehehehe ...

25 tahun yang lalu,
Inikah nasib? Terlahir sebagai menantu bukan pilihan.
Tapi aku dan Phophi harus tetap menikah.

Itu sebabnya kami ada di Kantor Catatan Sipil.
Wali kami pun wali hakim. Dalam 30 menit,
prosesi pernikahan kami selesai.
Tanpa sungkem dan tabur melati atau hidangan istimewa
dan salam sejahtera dari kerabat.
Tapi aku masih sangat bersyukur
karena Lukman dan Naila mau hadir menjadi saksi.
Umurku sudah menginjak seperempat abad dan Phophi di bawahku..
Cita-cita kami sederhana,
" ingin hidup bahagia ..!!""


22 tahun yang lalu,
Pekerjaanku tidak begitu elit,
tapi cukup untuk biaya makan keluargaku.
Yach .., keluargaku! Karena sekarang aku sudah punya momongan.
Seorang putri, kunamai ia
"SENANDUNG RINDU".

Aku berharap ia
bisa menjadi perempuan sempurna,
 maksudku kaya akan budi baik hingga dia tampak sempurna.
Kulitnya masih merah,
mungkin karena ia baru berumur seminggu.
Sayang, dia tak
dijenguk kakek-neneknya dan aku merasa prihatin.
Aku harus bisa terima nasib kembali,
orangtuaku dan orangtua Phopie tak mau menerima kami..
Ya sudahlah. Aku tak berhak untuk memaksa dan aku tidak membenci mereka.
Aku hanya yakin,
suatu saat nanti, mereka pasti akan berubah.

19 tahun yang lalu,
sENANDUNG RINDUku gesit dan lincah. Dia sekarang sedang senang
berlari-lari, melompat-lompat atau meloncat dari meja ke kursi lalu
dari kursi ke lantai kemudian berteriak ..
'Horeee ..!!!
RINDU  bisa terbang'. Begitulah dia
memanggil namanya sendiri, RINDU.
Kembang senyumnya selalu
merekah seperti mawar di pot halaman rumah.
Dan Phophi tak jarang berteriak ..
'RINDU sayaaang..............,'
jika sudah terdengar suara 'Prang'.
Itu artinya, ada yang
pecah, bisa vas bunga, gelas, piring, atau meja kaca..
Terakhir cermin rias ibunya yang pecah. Waktu dia melompat
dari tempat tidur ke lantai, boneka kayu yang dipegangnya
terpental.
Dan dia cuma bilang ..
'Kenapa semua kaca di rumah ini selalu pecah, Ma?' (hehehehe ..)

18 tahun yang lalu,
Hari ini RINDU ulang tahun. Aku sengaja pulang lebih awal
dari pekerjaanku agar bisa membeli hadiah dulu.
Kemarin lalu dia merengek minta dibelikan bola.
Phophi tak membelikannya karena tak mau anaknya jadi tomboy apalagi
jadi pemain bola seperti yang sering diucapkannya.
'Nanti kalau sudah besar, RINDU mau jadi pemain bola!'
tapi aku tidak suka dia menangis terus minta bola,
makanya kubelikan ia sebuah bola. Paling tidak aku
bisa punya lawan main setiap sabtu sore. Dan seperti yang sudah kuduga,
dia bersorak kegirangan waktu kutunjukkan bola itu.
'Horee, RINDU jadi pemain bola.'

17 Tahun yang lalu
" RINDU ..RINDU ..,Ayah kan sudah bilang jangan main bola di jalan.
Mainnya di rumah aja. Coba kalau RINDU nurut,
RINDU menyembunyikan bola di tas sekolahnya.
ak ga tau, Yang aku tahu ..
hari itu hari sabtu dan aku akan menjemputnyanya dari sekolah.
Kulihat anakku sedang asyik menendang bola
sepanjang jalan pulang dari sekolah dan ia semakin ketengah jalan.
Aku berlari menghampirinya,
rasa khawatirku mengalahkan kehati-hatianku dan ...
'Hallo RINDU.!'.
saat ku menyapa anaku, tiba" Sebuah truk pasir telak menghantam tubuhku,
lindasan ban besarnya berhenti di atas dua kakiku.
Waktu aku sadar, dua kakiku sudah diamputasi.
Ya Tuhan, bagaimana ini. Bayang2 kelam menyelimuti pikiranku,
tanpa kaki, bagaimana aku bekerja sementara
pekerjaanku mengantar barang dari perusahaan ke rumah konsumen.
Kulihat Phophie menangis sedih, bibir cuma berkata
'Coba kalau kamu tak belikan ia bola!'

15 tahun yang lalu,
Perekonomianku morat marit setelah kecelakaan.
Uang pesangon habis untuk ke rumah sakit dan uang tabungan
menguap jadi asap dapur.
Phophie  mulai banyak mengeluh dan RINDU mulai banyak dibentak.
Aku hanya bisa membelainya. Dan bilang
kalau Mamana sedang sakit kepala makanya cepat marah.
Perabotan rumah yang bisa dijual sudah habis.
Dan aku tak bisa berkata apa-apa saat Phophie hendak mencari
ke luar negeri. Dia ingin penghasilan yang lebih besar untuk
mencukupi kebutuhan RINDU.
Diizinkan atau tidak diizinkan
dia akan tetap pergi. Begitu katanya.
Dan akhirnya dia
memang pergi ke Malaysia .

13 tahun yang lalu,
Setahun sejak keper! gian Phophie, keuangan rumahku sedikit
membaik tapi itu hanya setahun.
Setelah itu tak terdengar kabar lagi.
Aku harus mempersiapkan uang untuk RINDU masuk SMP.
Anakku memang pintar dia loncat satu tahun di SD-nya.
Dengan segala keprihatinan kupaksakan agar RINDU bisa
melanjutkan sekolah.
aku bekerja serabutan, mengerjakan pekerjaan yang bisa kukerjakan dengan dua tanganku.
Aku miris, menghadapi kenyataan. Menyaksikan anakku yang tumbuh remaja
dan aku tahu dia ingin menikmati dunianya.
Tapi nkeadaanku mengurungnya dalam segala kekurangan.
Tapi aku harus kuat. Aku harus tabah untuk mengajari RINDU hidup tegar.

10 tahun yang lalu,
Aku sedih, semua tetangga sering mengejek kecacatanku.
Dan RINDU hanya sanggup berlari ke dalam rumah lalu
sembunyi di dalam kamar.
Dia sering jadi bulan-bulanan hinaan teman sebayanya.
Anakku cantik, seperti ibunya.
'Biar cantik kalo kere ya kelaut aje.'
Mungkin itu kata-kata yang sering kudengar.
Tapi anakku memang sabar
dia tidak marah walau tak urung menangis juga.
'Sabar ya, Nak!' hiburku.
'yah ,,, RINDU pake jilbab aja ya, biar tidak diganggu!' pintanya padaku.
Dan aku menangis.
Anakku maafkan ayahmu, hanya itu suara yang sanggup kupendam dalam hatiku.
Sejak hari itu, anakku tak pernah lepas dari kerudungnya.aku bahagia.
Anakku, ternyata kamu sudah semakin dewasa. Dia selalu tersenyum padaku.
Dia tidak pernah menunjukkan kekecewaannya padaku
karena sekolahnya hanya terlambat di bangku SMP.!

7 tahun yang lalu,
Aku merenung seharian. Ingatanku tentang Phophie, istriku,
kembali menemui pikiranku.
Sudah bertahun-tahun tak kudengar kabarnya.
Aku tak mungkin bohong pada diriku sendiri, jika aku masih menyimpan rindu untuknya.
Dan itu pula yang membuat aku takut.
Semalam RINDU bilang dia ingin menjadi TKI ke Malaysia .
Sulit baginya mencari pekerjaan di sini yang cuma lulusan SMP..
Haruskah aku melepasnya karena alasan ekonomi.
Dia bilang aku sudah tua, tenagaku mulai habis dan dia ingin agar aku beristirahat.
Dia berjanji akan rajin mengirimi aku uang dan menabung untuk modal.
Setelah itu dia akan pulang, menemaniku kembali dan membuka usaha
kecil-kecilan.
Seperti waktu lalu, kali ini pun aku tak
kuasa untuk menghalanginya.
Aku hanya berdoa agar SENANDUNG RINDUku baik-baik saja.

4 tahun lalu,
RINDU tak pernah telat ! mengirimi aku uang. Hampir tiga tahun dia di sana .
Dia bekerja sebagai seorang pelayan di rumah seorang nyonya.
Tapi RINDU tidak suka dengan laki-laki yang disebutnya datuk.
Matanya tak pernah siratkan sinar baik.
Dia juga dikenal suka perempuan.
Dan nyonya itu adalah istri mudanya yang keempat.
Dia bilang dia sudah ingin pulang. Karena akhir-akhir ini dia sering diganggu.
Lebaran tahun ini dia akan berhenti bekerja.
Itu yang kubaca dari suratnya.
Aku senang mengetahui itu dan selalu menunggu
hingga masa itu tiba.
RINDU bilang, aku jangan pernah lupa sHOlat dan
kalau kondisiku sedang baik usahakan untuk sholat tahajjud.
Tak perlu memaksakan untuk puasa sunnah yang pasti
setiap bulan Ramadhan aku harus berusaha sebisa mungkin
untuk kuat hingga beduk manghrib berbunyi.
Kini anakku lebih pandai menasihati daripada aku. Dan aku bangga.

3 tahun 6 bulan yang lalu,
Inikah badai ...?
Aku mendapat surat dari kepolisian pemerintahan Malaysia ,
kabarnya anakku ditahan. Dan dia diancam hukuman mati,
karena dia terbukti membunuh suami majikannya.
Sesak dadaku mendapat kabar ini. Aku menangis,
aku tak percaya.
SENANDUNG RINDUku yang lemah lembut tak mungkin membunuh.
Lagipula kenapa dia harus membunuh. Aku meminta bantuan hukum dari Indonesia
untuk menyelamatkan anakku dari maut.
Hampir setahun aku gelisah menunggu kasus anakku selesai.
Tenaga tuaku terkuras dan airmataku habis. Aku hanya bisa memohon
agar anakku tidak dihukum mati andai dia memang bersalah.

2 tahun 6 bulan yang lalu,
Akhirnya putusan itu jatuh juga, anakku terbukti bersalah.
Dan dia harus menjalani ! hukuman gantung sebagai balasannya.
Aku tidak bisa apa-apa selain menangis sejadinya.
Andai aku tak izinkan dia pergi apakah nasibnya
tak akan seburuk ini?
Andai aku tak belikan ia bola apakah
keadaanku pasti lebih baik? Aku kini benar-benar sendiri.
Wahai Allah kuatkan aku.

Atas permintaan anakku aku dijemput terbang ke Malaysia .
Anakku ingin aku ada di sisinya disaat terakhirnya.
Lihatlah, dia kurus sekali.
Dua matanya sembab dan bengkak.
Ingin rasanya aku berlari tapi apa daya kakiku tak ada..
Aku masuk ke dalam ruangan pertemuan itu,
dia berhambur ke arahku,
memelukku erat, seakan tak ingin melepaskan aku.

'Ayaah .., RINDU Takut!' aku memeluknya lebih erat
lagi. Andai bisa ditukar, aku ingin menggantikannya.
'Kenapa, nduuuu, kenapa kamu membunuhnya sayang?'
'Lelaki tua itu ingin Iya tidur dengannya, Pak. Iya
tidak mau. RINDU dipukulnya. RINDU takut, RINDU dorong dan dia
jatuh dari jendela kamar. Dan dia mati.
RINDU tidak salah kan yahh!'
Aku perih mendengar itu. Aku iba dengan nasib
anakku. Masa mudanya hilang begitu saja. Tapi aku bisa apa,
istri keempat lelaki tua itu menuntut agar anakku
dihukum mati.
Dia kaya dan lelaki itu juga orang terhormat.
Aku sudah berusaha untuk memohon keringanan bagi anakku,
tapi menemuiku pun ia tidak mau.
Sia-sia aku tinggal di Malaysia selama enam bulan untuk memohon hukuman pada wanita itu.

2 tahun yang lalu,
Hari ini, anakku akan dihukum gantung.
Dan wanita itu akan hadir melihatnya.
Aku mendengar dari petugas jika dia sudah datang dan ada di belakangku.
Tapi aku tak ingin melihatnya.
Aku melihat isyarat tangan dari hakim di sana .
Petugas itu membuka papan yang diinjak anakku. Dan 'blass'
SENANDUNG RINDUku kini tergantung.
Aku tak bisa lagi menangis.
Setelah yakin sudah mati,
jenazah anakku diturunkan mereka,
aku mendengar langkah kaki menuju jenazah anakku.
Dia menyibak kain penutupnya dan tersenyum sinis.
Aku mendongakkan kepalaku,
dan dengan mataku yang samar oleh air mata aku melihat garis wajah yang kukenal.
'Phophie..?'
'Mas Artha .., kau ... !'
'Kau ... kau bunuh anakmu sendiri, RINDU!'
'RINDU? Dia..dia . RINDU?' serunya getir menunjuk
jenazah anakku.
'Ya, dia RINDU kita. RINDU yang ingin jadi pemain bola
jika sudah besar.'
'Tidak ... tidaaak ... ' Phophie berlari ke arah
jenazah anakku. Diguncang tubuh kaku itu sambil menjerit
histeris.
Seorang petugas menghampiri Phophie dan memberikan
secarik kertas yang tergenggam di tangannya waktu dia
diturunkan dari tiang gantungan.
Bunyinya ..
'Terima kasih Mama.'
Aku baru sadar, kalau dari dulu RINDU sudah
tahu wanita itu ibunya.

Setahun lalu,
Sejak saat itu istriku gila. Tapi apakah dia masih istriku.
Yang aku tahu, aku belum pernah menceraikannya.
Terakhir kudengar kabarnya dia mati bunuh diri.
Dia ingin dikuburkan di samping kuburan anakku RINDU.
Kata pembantu yang mengantarkan
jenazahnya padaku, dia sering berteriak,
'RINDUuu sayaaang, apalagi yang pecah, Nak..???.'


Kamu tahu phie ..,
kali ini yang pecah adalah hatiku...